BUDAYA


BUDAYA DARI MASYARAKAT SEMARANG


1. MANTENAN

    Setiap daerah mempunyai tradisi masing-masing. Begitu juga dengan kota Semarang. Salah satunya adalah tradisi Manten Semarangan. Pengantin (mantenan) Semarang asli merupakan budaya tradisional yang harus dilestarikan keberadaannya.
Pengantin Semarangan mempunyai pakaian khas untuk masing-masing mempelai. Pengantin wanita memakai pakaian jawa biru gelap dengan kancing emas dan berkerah Shanghai. Pengantin wanita juga memakai sarung tangan dan kaus kaki dengan sepatu yang berwarna sama dengan pakaiannya.
Rambut pada mempelai wanita memakai aksesoris berupa mahkota, beberapa cunduk mentul dengan garis emas, hitam, dan perak. Ada pulaperhiasan di telinga ditambah di dekatkannya dipasang untaian melati dan cempaka kuning.
Pengantin pria berpakaian jubah sepanjang lutut dengan pakaian luarnya terbuat dari bludru biru gelap. Kepalanya memakai sorban dan di sisi dipasang untaian melati, cempaka kuning, mawar, dan magnolia.
Pada pinggang dikenakan ikat pinggang berwarna kuning dan selempang dipasang dari bahu kanan ke pinggang kiri. Dilengkapi pula dengan sarung tangan putih dan sandal selop.
Prosesi mantenan Semarangan, sang penganten putri ditandu di atas Joli dengan gelang emas serenteng, kalung dan giwang gemerlap serta pilis emas di dahinya. Sang penganten putra dengan gagah menunggang seekor kuda, lengkap dengan pedang terselip di pinggang mengiringi sang penganten putri.


     2. DUGDERAN

    Kata WARAK berasal dari bahasa arab “Wara’i” yang berarti suci dan NGENDOG yang artinya bertelur disimbolkan sebagai hasil pahala yang didapat seseorang setelah sebelumnya menjalani proses suci. Secara harfiah, Warak Ngendog bisa diartikan sebagai siapa saja yang menjaga kesucian di Bulan Ramadhan, kelak di akhir bulan akan mendapatkan pahala di Hari lebaran. Ciri khas bentuk yang lurus dari Warak Ngendog ini mengandung arti filosofis tersendiri. Bentuk lurus tersebut menggambarkan citra warga Semarang yang terbuka, lurus dan berbicara apa adanya. Tak ada perbedaan antara ungkapan hati dengan ungkapan lisan. Selain itu Warak Ngendog juga mewakili akulturasi budaya dari keragaman etnis yang ada di Kota Semarang. Pada setiap bulan puasa tiba Warak Ngendog mudah dijumpai dalam bentuk mainan khas Kota Semarang yang muncul sekali dan hanya hadir di perayaan tradisi Dugderan. Mainan ini berwujud makhluk rekaan yang merupakan gabungan dari beberapa binatang yang merupakan simbol persatuan dari berbagai golongan etnis warga kota Semarang, yaitu Cina, Arab dan Jawa. Kepalanya menyerupai kepala naga (Cina), tubuhnya layaknya buraq (Arab), dan empat kakinya menyerupai kaki kambing (Jawa).

       Munculnya tradisi “Dugderan” yang tetap dilestarikan hingga sekarang. Dimulai pada masa pemerintahan Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat pada tahun 1891 guna menandai dimulainya bulan suci Ramadhan, diselenggarakan upacara dengan membunyikan suara bedug (Dug-dug-dug) dan dentuman suara meriam (Der). Sehingga jadilah istilah Dug-der, dug-deran.
Dalam keramaian tersebut dimeriahkan juga dengan mainan anak-anak yang disebut dengan “Warak Ngendog”. Maka tradisi ini tetap dilestarikan hingga sekarang dan menjadi ciri khas budaya Kota Semarang menjelang datangnya bulan puasa bagi umat Islam.

3. UPACARA ADAT SIRAMAN

    Salah sijine adat tata cara pengantenan yaiku siraman calon penganten . Sakdurunge acara siraman calon penganten putri, sedina sakdurunge sing duwe gawe wis utusan paraga golek banyu sumber pitu , sumber pitu utawa tuk pitu mau bisa wujud sendhang utawa sumur ,dadi dudu banyu kali sing ora suci amarga wis reget.
Sakwise calon penganten putri dibusanani busana siraman , rambut diore , dikanthi mijil saka kamar busana, sungkem caos bekti luwih dhisik marang sepuh piniji ( putri ) kang lungguhe wis ditata sakdurunge , jejer-jejer .Urutan sing keri dhewe lenggahe ibulan ramane calom penganten putri . Sakwise sungkem pangabekti , calon penganten putri tumuli dikanthi dening dening rama lan ibune manjing papan siraman . Calon penganten putrid dilenggahake ing papan siraman kang wis cinawisake.Rama lan ibune banjur nampa banyu sumber pitu saka paraga kang piniji ,sabanjure banyu sumber pitu kacampurake ing jembangan kang arep dienggo siraman .Sakwise banyu dicampur, dhukun penganten ngandani para sepuh putrid kang piniji mbaka siji nyirani calon penganten pungkasane rama lan ibune .Rampung siraman nuli nindakake acara pecah pamor.Carane ,kendhi pratala sing isi banyu dicurake dening ramane kanggo wudlu tumrap calon penganten putri sing muslim ,dene saliyane cukup kanggo raup nganti banyune entek.Yen kendi wis kothong,banjur dicekel bareng dening rama lan ibune ,kendhi ditibakake utawa dibanting karo ngucap :”Aku ora mecah kendhi,nanging mecah pamore anakku”.Sakwise kendi pecah ,calon penganten putri banjur dianduki lan dibopong  mlebu kamar proboyoso dening rama lan ibune,pepindhane kaya digendong kanthi kebak rasa tresna asih .
4. KEMBAR MAYANG

    Kembar mayang biasane digawa ing acara “ Temu Nganten “ ing ngarep lawang omah penganten putri . Kembang mayang iki digawa karo sepasang praja utawa remaja wadon lan sepasang praja putra sing iseh jejaka lan perawan .Kembar mayang sing digawa karo pihak putri dituker kaliyan kembar mayang sing digawa karo pihak penganten kakung.
Miturut tradisi Jawa sing sampurna utawa lengkap, kembar mayang yaiku karangan sekar utawa kembang sing terdiri saka godhong-godhong wit klapa( janur ) sing ditancepake ing tanggul klapa . Lan dekorasi kembang mayang iki duweni makna utawa arti sing becik.
·       Hiasan sing bentuke awujud gunung dhuwur lan amba ngelambangake yen penganten kakung kudu berpengetahuan luas utawa duwe ilmu pengetahuan sing becik , berpengalaman , lan sabar .
·       Hiasan sing bentuke awujud keris duweni arti supaya pasangan penganten kudu ati-ati ing panguripane .
·       Hiasan awujud cemeti utawa cambuk, duweni arti pasangan kudu berpikir positif sing harapane supaya uripe bahagia .
·       Hiasan awujud payung nduweni arti pasangan kudu ngelindungi kaluwargane dhewe.
·       Hiasan awujud walang nduweni arti pasangan penganten kudu tangkas,berpikir cepet , lan jupuk kaputusan sing bener nganggo keslametan kaluwargane.
·       Hiasan awujud manuk : pasangan kudu nduweni tujuwan urip sing becik .
·       Godhong ringin : pasangan kudu ngelindungi kaluwargane dhewe lan wong liya .
·       Godhong kruton : nduweni arti ngelindungi pasangan penganten saka roh jahat .
·       Godhong dadap serep : nandaake pasangan penganten kudu duwe pikiran jernih lan tenang ngadhepi masalah kaluwargane .
·       Bunga patra manggala : digunaake nganggo hiasan kembar mayang .

5. NYADRAN

     Berasal dari kata sraddha, nyraddha, nyraddhan, akhirnya luruh menjadi nyadran. Dari buku Kalangwan karya PJ Zoetmulder, pakar bahasa Jawa dan juga kebudayaan Jawa, upacara Sraddha di Jawa terlacak dilakukan sejak zaman Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu, sekitar tahun 1350 Masehi.
Menyambut datangnya bulan suci Ramadan, warga Semarang melakukan ritual Nyadran sejak memasuki bulan Ruwah. Nyadran adalah ziarah kubur. Mereka mendoakan arwah leluhur. Pemakaman di Semarang setiap harinya didatangi banyak keluarga untuk mendoakan kerabat mereka yang telah meninggal dunia.
Acara Nyadran itu ada yang dilaksanakan secara pribadi, ada pula yang dilakukan secara serempak satu dusun. Ini seperti yang dilakukan warga Dusun Pucung, Kelurahan Pudak Payung, Semarang, Jumat (27/6) pagi. Ratusan orang datang ke kawasan Sendhang Gedhe—mata air di dusun itu—untuk berdoa bersama yang diakhiri pesta makan bersama.

"Ini bentuk pelestarian budaya untuk mengirim doa kepada arwah leluhur. Di sisi lain, kami membersihkan mata air di sini sebagai wujud memelihara alam. Di sini ada harmoni kehidupan," kata Poerwa Kasmanto, Lurah Pudak Payung.

Sementara itu, sesepuh warga Atmorejo mengajak semua warga untuk selalu mengingat leluhur mereka. Warga di sana percaya bahwa cikal bakal desa itu adalah Kiai dan Nyai Tayem yang dimakamkan di pemakaman di dekat sendang itu.
Dari sisi antropologi, Kiai dan Nyai Tayem adalah sosok pahlawan kebudayaan (culture hero). Orang Jawa kemudian menyebutnya sebagai danyang. Sosok danyang itu dipercaya selalu mengikuti kehidupan perkembangan desa yang pernah dikembangkannya.
6. POPOKAN

    Sendang adalah merupakan sebuah desa di kecamatan BringinKabupaten SemarangJawa TengahIndonesia. Terkenal dengan budayanya yaitu "popokan" sebuah upacara adat lempar lumpur yang diperingati pada bulan agustus tepatnya hari jumat kliwon. Upacara ini sudah turun temurun sejak terbentuknya desa sendang. Upacara ini diawali dengan pembersihan mata air atau sendang itu sendiri, selanjutnya setelah sholat jumat warga membawa "ambeng" atau makanan dan jajan pasar ke rumah bayan (pengurus kampung) untuk acara selamatan. Setelah itu warga menuju perbatasan untuk mengadakan acara arak arakan, dalam acara ini terdapat kesenian dari desa sendang itu sendiri yaitu reog atau jatilan, noknik (pagelaran wayang orang), serta penampilan dari kreasi warga tiap RT nya.Dibarisan depan terdapat macan persembahan. Setibanya arak rakan ini di tempat popokan maka modin (pemuka agama) membacakan doa selanjutnya di ikuti perebutan persembahan oleh warga. Setelah itu acara popokan dilaksanakan, warga saling melempar lumpur namun tidak ada emosi disini mereka melaksanakan dengan suka cita, demikian juga penontonya jika terkena lemparan tidak boleh marah karena kata orang dulu orang yang terkena lemparan lumpur maka niscaya mendapat berkah.
Tradisi popokan sendiri berjalan sudah lama. Tradisi ini bermula ketika ada gangguan dari seekor macan yang mengancam warga, merusak tananaman dan meneror warga desa sendang. Namun diusir memakai senjata macan tidak mau pergi warga sempat takut dibuatnya, setelah itu ada seorang pemuka adat yang menyarankan agar macan tersebut diusir menggunakan tanah atau lumpur sawah dan yang terjadi macanpun pergi warga dengan suka cita merayakanya dengan lempar lumpur yang sekarang menjadi tradisi dan identitas wazrga desa sendang.
Popokan sendiri bermakna pembersihan diri atau bisa diartikan menghilangkan kejahatan/keburukan tidak harus dengan kekerasan, namun dengan rendah diri dan taat pada ALLAH SWT maka niscaya semua itu bisa dilawan.
7. MAGENGAN 

Megengan berasal dari kata megeng yang artinya menahan. Tidak hanya menahan nafsu makan dan minum  , tetapi juga menahan dari segala nafsu , seperti amarah dan juga hal-hal yang bisa membatalkan puasa. Maksud sebenarnya dari Megengan adalah bahwa sebentar lagi mau memasuki bulan suci Ramadhan karena di bulan tersebut   umat muslim berkewajiban untuk melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh. Megengan biasanya dilakukan menjelang minggu terakhir di bulan Sya’ban. Menurut ceritanya, Tradisi Megengan ini diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga pada saat penyebaran agama Islam di Jawa, terutama Jawa Timur.
dalam acara Megengan biasanya ada acara mendoakan para sesepuh yang telah wafat. Selain itu dalam tradisi Megengan juga diisi dengan  acara   syukuran dengan membagi-bagikan  makanan terutama kue apem. Kue apem ini sebenarnya adalah ungkapan   permintaan maaf secara tidak langsung , misalnya kepada tetangga, saudara-saudara dan orang di sekitar . Karena apem ini berasal dari kata afum yang artinya adalah meminta maaf dan memberi maaf.  Dan menurut ceritanya karena dalam masyarakat Jawa tidak mengenal huruf „F“,  maka kata Afwun berubah menjadi Apwun, lalu menjadi apwum , kemudian apwem dan akhirnya menjadi  apem. Pendengar,   biasanya masyarakat di Jawa Timur ini selain membagikan kue apem juga  membagikan pisang raja.

Menurut ceritanya, kue apem dan pisang raja ini apabila disatukan akan menjadi payung. Payung melambangkan perlindungan dari segala cobaan selama menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Dilihat dari bahan dasarnya, kue apem melaambangkan kebersihan dan kesucian, karena bahan dasarnya adalah beras putih. Warna putih melambangkan kesucian. Kemudian santan, merupakan sari buah kelapa yang juga mempunyai arti  “Santen” sebagai akronim dari kata  Jawa  Sagetho Nyuwun Pangapunten yang berarti permohonan maaf. Sedangkan gula dan garam melambangkan perasaan hati. Sehingga apabila semua bahan-bahan itu dijadikan satu maka mempunyai makna simbolis,   yaitu kesucian dan ketulusan perasaan hati manusia.  Jadi secara simbolis , makan kue apem bisa diartikan memohon maaf kepada keluarga, sanak saudara dan teman. Dan setelah makan kue apem ini , biasanya orang-orang saling bersalaman saling meminta maaf dan kemudian membaca doa.


4 komentar:

  1. Blognya bagus, tapi agak dikasih spasi/enter biar bacanya ga pusing :)

    BalasHapus
  2. baguss,mungkin saran prnjelasanya mungkin bisa dikecilin lagi biar ada bedanya

    BalasHapus